Selasa, 12 Juni 2012

Kritik Einstein terhadap Ketuhanan Plato


Sejak zaman Yunani Kuno, peradaban umat manusia telah mulai menemukan identitasnya. Proyek pencarian akan eksistensi Tuhan telah menjadi bagian yang tak terpisahkan dari perbincangan sehari-hari para ahli filsafat di negeri para dewa itu. Pada awalnya orang Yunani Kuno secara mitodologi mengenal banyak dewa yang diyakini sebagai Tuhan yang mengatur alam semesta. Namun, bersamaan dengan semakin berkembangnya alam berpikir orang Yunani Kuno, mitos-mitos para dewa yang menjadi sebuah doktrin warisan turun temurun, mulai runtuh dan tergantikan oleh doktrin yang lebih rasional-empiris. Doktrin inilah yang diusung oleh para ahli filsafat di Yunani.
Mengungkap kembali persoalan filsafat yang disinggung oleh para ahli filsafat Yunani Kuno, di antaranya adalah Plato. Persoalan filsafat inilah yang kemudian juga menarik perhatian sosok manusia jenius di abad 20, yakni Albert Einstein. Kedua sosok manusia ini adalah mereka yang dipercaya memiliki peran sangat penting dalam perjalanan sejarah umat manusia. Anggapan bahwa kedua tokoh ini (Plato dan Einstein), penting dikarenakan dari keduanya memang telah banyak lahir teori-teori baru yang turut membawa arus perubahan dalam peradaban manusia.
Adalah Plato, seorang filosof dari Athena di zaman Yunani Kuno, mulai mengenalkan alam berpikir baru tentang realitas kebenaran abadi. Bagi Plato, di alam semesta ini terdapat sesuatu yang kekal dan abadi. Dengan demikian, eksistensi para dewa dipertanyakan kembali. Apakah para dewa memiliki kekekalan dan keabadian sebagaimana yang dimaksud oleh Plato?. Untuk menjawab pertanyaan ini, Plato juga tidak dapat menggambarkan secara spesifik. Namun, ketika ia mulai mengalihkan perbincangan terkait dengan para dewa dengan menyebut entitas baru, yakni Tuhan. Ia menggambarkan sosok Tuhan sebagai sosok yang niscaya tetap memiliki kekuatan untuk melakukan segala sesuatu. Dengan keadaan niscaya, Tuhan tidak dapat berbuat apapun selain dari yang ia lakukan.
Penjelasan tentang sosok Tuhan di atas yang masih rancu, terkesan amat sulit untuk dipahami oleh siapapun. Tentunya penjelasan Plato telah memantik reaksi yang beragam dari berbagai kalangan, tak terkecuali oleh Albert Einstein. Dalam konteks inilah, Einstein, seorang pemikir, seorang ahli fisika, ahli matematika dan ahli astronomi mengkritisi pemikiran Plato. Bagaimanapun, secara implisit Plato telah dianggap membatasi kekekalan dan keabadian Tuhan dengan membatasi perbuatan-Nya. Apalagi ketika Plato memiliki pemikiran bahwa bumi, matahari, bulan dan bintang tidak akan berubah, akan tetap seperti keadaan semula. Dengan kata lain, semua itu dianggap oleh Plato memiliki “keabadian”. Tak ayal, Einstein menolak secara tegas pemikiran-pemikiran yang demikian.
Menurutnya, berdasarkan pengamatannya terhadap alam semesta, utamanya terhadap bintang-bintang di angkasa raya ini, semuanya mengalami perubahan, tidak ada yang kekal dan abadi. Langit mengalami pengembangan, bintang yang semula bersinar seperti matahari, pada suatu saat akan padam.
Dari penjelasan di atas, penemuan-penemuan Einstein jelas bertentangan dengan teori Plato yang mengatakan bahwa alam semesta itu kekal dan abadi. Adapun teori Plato tentang entitas Tuhan, Einstein juga tidak dapat menerimanya, bahkan ia terkesan menentang teori itu. Bagi Einstein, pendapat Plato seringkali tidak sesuai dengan logika dan jalan pemikirannya. Oleh karenanya, ketika Einstein tidak menemukan kebenaran pada filsafat Plato, ia mulai mencari jawabannya lewat penelitian dalam bidang sains. Di dunia sains inilah Einstein percaya bahwa kebenaran abadi akan terbuktikan secara ilmiah. Einstein sebagai seorang ahli fisika dan matematik, memang selalu berpikir secara rasional terhadap segala masalah yang dihadapinya, termasuk masalah filsafat. Namun, persoalan yang masih belum dapat ditemukan jawabannya, adalah masalah terkait dengan sosok Tuhan.
Ketika menggambarkan sosok Tuhan, Einstein juga menemukan kesulitan yang sama sebagaimana dihadapi Plato. Tuhan memang tidak mungkin untuk dibuktikan secara kongkrit. Mengutip pendapat Karen Armstrong dalam bukunya “Sejarah Tuhan”, pada mulanya manusia menciptakan satu Tuhan yang merupakan Penyebab Pertama bagi segala sesuatu dan Penguasa langit dan bumi dan Dia tidak terwakili oleh gambaran apapun.
Dalam konteks inilah, jelas bagi kita bahwa Tuhan memang tidak mungkin digambarkan secara nyata. Oleh karenanya, tak salah jika Einstein pernah melontarkan kata-kata “Kini aku tahu, Tuhan berada di Surga”. Sementara Plato, ia tetaplah seorang filofof yang pola berpikirnya tidak mungkin terlepas dari mitos-mitos yang ada di masyarakat Yunani Kuno.
Albert Einstein mendeskripsikan kepercayaan terhadap Tuhan sebagai “takhayul yang kekanak-kanakan”. Ilmuwan besar fisika ini juga mengatakan umat Yahudi bukanlah orang-orang terpilih. “Bagi saya, agama Yahudi seperti lainnya adalah penjelmaan dari takhayul yang kekanak-kanakan,”
Pola berfikir yang berbeda di atas, baik berpikir ala Plato maupun Einstein, setidaknya dapat dipergunakan sebagai alat pembanding dalam mitodologi berpikir filsafat. Sebab bagaimanapun, Plato dan Einstein memiliki model berpikir filsafat yang relevan dengan konteks zaman dan bidang kajian keilmuan yang mereka tekuni masing-masing. Dengan demikian, berfikir dan berfilsafat ala Plato dan Einstein tetaplah menarik untuk dikaji dan diperbincangkan sebagai sebuah landasan berfikir sebelum kita mengenal alam berpikir para filosof lainnya.
Yahudi, yang menggambarkan Tuhannya sebagai personal, atau Tuhan yang mempunyai kepribadian layaknya manusia. Kata Einstein, Tuhan tidak bisa direduksi menjadi mirip dengan manusia. Baginya, Tuhan tetaplah impersonal, realitas yang tidak ditemukan persamaannya sama sekali dengan manusia dan yang tampak kepada manusia.
Menurutnya, ide Tuhan personal tidak rasional. Begitu pun, dia tidak sepakat dengan argumen agama Kristen yang menyatakan Tuhan terdiri dari tiga komposisi atau Trinitas. Tuhan, bagi Einstein, harus satu, karena kalau tidak, akan terjadi distorsi mekanis dalam sistem otoritasnya terhadap alam raya. Sama dengan Tuhannya Yahudi, Tuhan Trinitas, bagi Einstein, juga tidak dapat diterima secara rasio.
Lalu, bagaimana Enstein merumuskan “Tuhannya”? Tidak bisa lepas dari profesinya sebagai seorang saintis, Enstein berargumen bahwa Tuhan bisa ditemukan dengan menggunakan pendekatan-pendekatan sains, khususnya matematika dan fisika. Alam raya, baginya, merupakan bentangan realitas yang bisa dipahami dengan menggunakan rumus-rumus matematis. Begitu pun Enstein percaya bahwa Tuhan dalam diri-Nya juga bisa dipahamai lewat pendekatan semacam itu. Tuhan Einstein merupakan pencipta tatanan dengan hukum-hukumnya yang tak tergoyahkan. Da kemudian mencoba mengkodifikasikan Tuhannya ke dalam sebuah agama kosmis yang menolak Tuhan personal sebagaimana Yahudi mengajarkannya, dan Tuhan Trinitas milik Kristen. Agama kosmis ini berbeda dengan agama konvensional, karena tidak ada ritual di sana, tidak ada doa, tidak ada pembalasan, sebagaimana Enstein yakini, kecuali bahwa Tuhan telah diredusir menjadi sekedar fungsi matematika. Di sinilah timbul perdebatan apakah Enstein seorang yang betul-betul mencari Tuhannya dengan ketulusan seorang saintis, atau memang seorang saintis-rasionalis yang menukar keyakinannya dengan ide-ide tradisional tentang Tuhan.
Einstein berkata, Ilmu pengetahuan hanya dapat diciptakan oleh mereka yang dipenuhi dengan gairah untuk mencapai kebenaran dan pemahaman. Tetapi, sumber perasaan itu berasal dari tataran agama. Termasuk di dalamnya adalah keimanan pada kemungkinan bahwa semua peraturan yang berlaku pada dunia wujud itu bersifat rasional. Artinya, dapat difahami oleh akal. Saya tidak dapat membayangkan ada ilmuwan sejati yang tidak mempunyai keimanan yang mendalam seperti itu. keterangan ini dapat diungkapkan dengan gambaran: ilmu pengetahuan tanpa agama adalah lumpuh, dan agama tanpa ilmu pengetahuan buta. Bagi Einstein, tidak terbayangkan ada ilmuwan yang tidak punya keimanan yang mendalam. makin jauh kita masuk pada rahasia alam, makin besar pula kekaguman dan penghormatan kita pada Tuhan.
Pendapat Einstein, mengenai adanya Tuhan. Sosok Tuhan menurut Einstein adalah Tuhan yang impersonal, bukan Tuhan yang personal. Artinya, Tuhan adalah sosok yang tidak sama dengan manusia, tidak sama dalam hal segalanya, baik berupa fisik maupun sifat. Karena jika Tuhan sama dengan manusia, berarti Tuhan itu lemah, padahal, menurutnya, Tuhan adalah sosok yang kuat. “Bagaimana Tuhan dapat menciptakan alam seisinya jika Tuhan itu sendiri lemah?”, itulah yang ada dalam otak Einstein.
menganggap Einstein sebagai seorang ateis, karena dianggap tidak mempercayai adanya Tuhan. Tetapi, banyak juga yang sepakat dengan pendapat Einstein, mengenai adanya Tuhan. Sosok Tuhan menurut Einstein adalah Tuhan yang impersonal, bukan Tuhan yang personal. Artinya, Tuhan adalah sosok yang tidak sama dengan manusia, tidak sama dalam hal segalanya, baik berupa fisik maupun sifat.
Konsep Einstein :
Karena pada waktu belajar agama yahudi dan katolik Einstein dibayang-bayangi sosok Tuhan seperti “manusia” yang tersirat dari ayat-ayat dalam kitab injil sbb :”Ketika mereka mendengar bunyi langkah tuhan Allah…”(Kejadian, 3:8)“Ditulis dengan tangan Tuhan”(Injil Eksodus,31:18).
Kemudian Einstein berkomentar “Sungguh tidak masuk akal! Sangat Naif, kok tuhan dipersonalkan”kata-kata einstein tersebut membuat vatikan kegerahan, padahal einstein adalah keturunan yahudi yang juga mendapat ilmu agama katolik selagi berada di bangku sekolah. Menurut einstein taurat dan injil tidak dapat ia terima dengan logika. Baginya ‘TUHAN’ tidak dapat dipersamakan dengan manusia. Terlebih dengan adanya konsep trinitas yang dikatakan sama dengan monotheisme, bagaimana mungkin? trinitas atau Tuhan Bapak + Tuhan anak + Roh Kudus = Tuhan yang esa.
Bagaimana mungkin 1 + 1 + 1 = 1?? Sekali lagi pemikiran yang berlandaskan logika atau matematika tersebut benar. Pernyataan bahwa Tuhan mempunyai anak seperti yang terdapat dalam kitab taurat dan injil telah disanggah Einstein.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar